Diagnosis dan Tatalaksana DBD


 

I.              Diagnosis Infeksi Dengue

Kriteria diagnosis infeksi dengue dibagi menjadi kriteria diagnosis klinis dan kriteria diagnosis laboratoris. Kriteria diagnosis klinis penting dalam penapisan kasus, tata laksana kasus, memperkirakan prognosis kasus, dan surveilans. Kriteria diagnosis laboratoris yaitu kriteria diagnosis dengan konfirmasi laboratorium yang penting dalam pelaporan, surveilans, penelitian dan langkah-langkah tindakan preventif dan promotif.


A. Kriteria Diagnosis Klinis
Manifestasi klinis infeksi dengue sangat bervariasi dan sulit dibedakan dari penyakit infeksi lain terutama pada fase awal perjalanan penyakit-nya. Dengan meningkatnya kewaspadaan masyarakat terhadap infeksi dengue, tidak jarang pasien demam dibawa berobat pada fase awal penyakit, bahkan pada hari pertama demam. Sisi baik dari kewaspadaan ini adalah pasien demam berdarah dengue dapat diketahui dan memperoleh pengobatan pada fase dini, namun di sisi lain pada fase ini sangat sulit bagi tenaga kesehatan untuk menegakkan diagnosis demam berdarah dengue. Oleh karena itu diperlukan petunjuk kapan suatu infeksi dengue harus dicurigai, petunjuk ini dapat berupa tanda dan gejala klinis serta pemeriksaan laboratorium rutin. Tanpa adanya petunjuk ini di satu sisi akan menyebabkan keterlambatan bahkan kesalahan dalam menegakkan diagnosis dengan segala akibatnya, dan di sisi lain menyebabkan pemeriksaan laboratorium berlebih dan bahkan perawatan yang tidak diperlukan yang akan merugikan baik bagi pasien maupun dalam peningkatan beban kerja rumah sakit.
Berdasar petunjuk klinis tersebut dibuat kriteria diagnosis klinis, yang terdiri atas kriteria diagnosis klinis Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD), Demam Berdarah Dengue dengan syok (Sindrom Syok Dengue/SSD), dan Expanded Dengue Syndrome (unusual manifestation). (UKK Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI, 2014)
1.    Demam Dengue (DD)
Demam tinggi mendadak (biasanya ≥ 39º) ditambah 2 atau lebih gejala/tanda penyerta:
-          Nyeri kepala
-          Nyeri belakang bola mata
-          Nyeri otot & tulang
-          Ruam kulit      
-          Manifestasi perdarahan
-          Leukopenia (Lekosit ≤ 5000 /mm³)
-          Trombositopenia (Trombosit< 150.000 /mm³ )
-          Peningkatanhematokrit 5 – 10 %

2.    Demam Berdarah Dengue (DBD)
1)    Diagnosis DBD dapat ditegakkan bila ditemukan manifestasi berikut:
a.    Demam 2–7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus
b.    Adanya manifestasi perdarahan baik yang spontan seperti petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena; maupun berupa uji tourniquet positif.
c.    Trombositopnia (Trombosit ≤ 100.000/mm³)
d.    Adanya kebocoran plasma (plasma leakage) akibat dari peningkatan permeabilitas vaskular yang ditandai salah satu atau lebih tanda berikut:
·         Peningkatan hematokrit/hemokonsentrasi ≥ 20% dari nilai baseline atau penurunan sebesar itu pada fase konvalesens
·         Efusi pleura, asites atau hipoproteinemia/ hipoalbuminemia


2)    Karakteristik gejala dan tandautama DBD sebagai berikut:
a.    Demam
·         Demam tinggi yang mendadak, terus menerus, berlangsung 2-7 hari.
·         Akhir fase demam setelah hari ke-3 saat demam mulai menurun, hati-hati karena pada fase tersebut dapat terjadi syok. Demam Hari ke-3 sampai ke-6, adalah fase kritis terjadinya syok.

b.    Tanda-tanda perdarahan
·         Penyebab perdarahan pada pasien DBD ialah vaskulopati, trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit, serta koagulasi intravaskular yang menyeluruh. Jenis perdarahan yang terbanyak adalah perdarahan kulit seperti uji Tourniquet positif (uji Rumple Leed/uji bendung), petekie, purpura, ekimosis dan perdarahan konjungtiva. Petekie dapat muncul pada hari-hari pertama demam tetapi dapat pula dijumpai setelah hari ke-3 demam.

·         Petekie sering sulit dibedakan dengan bekas gigitan nyamuk, untuk membedakannya: lakukan penekanan pada bintik merah yang dicurigai dengan kaca obyek atau penggaris plastik transparan, atau dengan meregangkan kulit. Jika bintik merah menghilang saat penekanan/ peregangan kulit berarti bukan petekie. Perdarahan lain yaitu epitaksis, perdarahan gusi, melena dan hematemesis. Pada anak yang belum pernah mengalami mimisan, maka mimisan merupakan tanda penting. Kadang-kadang dijumpai pula perdarahan konjungtiva atau hematuria.

·        Uji Bendung (Tourniquet Test) sebagai tanda perdarahan ringan, dapat dinilai sebagai presumptif test (dugaan kuat).
·        Pada hari ke-2 demam, uji Tourniquet memiliki sensitivitas 90,6% dan spesifisitas  77,8%,dan pada hari ke-3 demam nilai sensitivitas 98,7% dan spesifisitas 74,2%.
·        Uji Tourniquet dinyatakan positif jika terdapat lebih dari 10 petekie  pada area 1 inci persegi (2,5 cm x 2,5 cm) di lengan bawah bagian depan (volar) termasuk pada lipatan siku (fossa cubiti). 


             
Cara melakukan uji Tourniquet sebagai berikut :
·         Pasang manset anak pada lengan atas (ukuran manset sesuaikan dengan umur anak, yaitu lebar manset = 2/3 lengan atas)
·         Pompa tensimeter untuk mendapatkan tekanan sistolik dan tekanan diastolik
·         Aliran darah pada lengan atas dibendung pada tekanan antara sistolik dan diastolik  (rata-rata tekanan sistolik dan diastolik) selama 5 menit. (Bila telah terlihat adanya bintik-bintik merah ≥ 10 buah, pembendungan dapat dihentikan).
·         Lihat pada bagian bawah lengan depan (daerah volar) dan atau daerah lipatan siku (fossa cubiti), apakah timbul bintik-bintik merah, tanda perdarahan (petekie)
·         Hasil Uji Tourniquet dinyatakan positif (+) bila ditemukan ≥ 10 bintik perdarahan (petekia), pada luas 1 inci persegi ( 2,5 cm2.)

c.    Hepatomegali (pembesaran hati)
·         Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit, bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba (just palpable) sampai 2-4 cm di bawah lengkungan iga kanandandibawahprocesusXifoideus
·         Proses pembesaran hati, dari tidak teraba menjadi teraba, dapat meramalkan perjalanan penyakit DBD. Derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit, namun nyeri tekan di hipokondriumkanandisebabkanolehkarenaperegangankapsulhati. Nyeri perut lebih tampak jelas pada anak besar dari pada anak kecil.

d.    Syok
Tanda bahaya (warning signs) untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya syok pada penderita Demam Berdarah Dengue dapat dilihat pada Boks A
Boks A  Tanda Bahaya (Warning Signs)
Klinis
Demam turun tetapi keadaan anak memburuk
Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen
Muntah persisten
Letargi, gelisah
Perdarahaan mukosa
Pembesaran hati
Akumulasi cairan
Oliguria
Laboratorium
Peningkatan kadar hematokrit bersamaan dengan penurunan cepat jumlah trombosit
Hematokrit awal tinggi
*Sumber : PedomanDiagnosis dan Tatalaksana Infeksi Dengue pada Anak; UKK Infeksi & Penyakit Tropis IDAI; Tahun 2014
Demam Berdarah Dengue dengan Syok (Sindrom Syok Dengue/ SSD)
·      Memenuhi kriteria Demam Berdarah Dengue
·      Ditemukan adanya tanda dan gejala syok hipovolemik baik yang terkompensasi maupun yang dekompensasi

Boks B  Tanda dan Gejala Syok Terkompensasi
·       Takikardia
·       Takipnea
·       Tekanan nadi (perbedaan antara sistolik dan diastolik) <20 mmHg
·       Waktu pengisian kapiler (capillary refill time/CRT) >2 detik
·       Kulit dingin
·       Produksi urin (urine output) menurun
·       Anak gelisah
*Sumber : PedomanDiagnosis dan Tatalaksana Infeksi Dengue pada Anak; UKK Infeksi & Penyakit Tropis IDAI; Tahun 2014
Boks C  Tanda dan Gejala Syok Dekompensasi
·       Takikardia
·       Hipotensi (sistolik dan diastolik turun)
·       Nadi cepat dan kecil
·       Pernapasan Kusmaull atau hiperpnoe
·       Sianosis
·       Kulit lembap dan dingin
·       Profound shock: nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur    









3.    Expanded Dengue Syndrom (EDS)
Memenuhi kriteria Demam Dengue atau Demam Berdarah Dengue baik yang disertai syok maupun tidak, dengan manifestasi klinis komplikasi infeksi virus dengue atau dengan manifestasi klinis yang tidak biasa, seperti tanda dan gejala:
·         Kelebihan cairan
·         Gangguan elektrolit
·         Ensefalopati
·         Ensefalitis
·         Perdarahan hebat
·         Gagal ginjal akut
·         Haemolytic Uremic Syndrome
·         Gangguan jantung: gangguan konduksi, miokarditis, perikarditis
·         Infeksi ganda

B. Kriteria Diagnosis Laboratoris
Kriteria Diagnosis Laboratoris infeksi dengue baik demam dengue, demam berdarah dengue maupun expanded dengue syndromterdiri atas:
1.    Probable; apabila diagnosis klinis diperkuat oleh hasil pemeriksaan serologi antidengue (deteksi antibodi) serum tunggal dan/atau penderita bertempat tinggal/ pernah berkunjung ke daerah endemis DBD dalam kurun waktu masa inkubasi.
2.    Confirmed; apabila diagnosis klinis diperkuat dengan sekurang-kurangnya salah satu pemeriksaan berikut:
a.    Isolasi virus Dengue dari serum atau sampel otopsi.
b.    Pemeriksaan HI Test dimana terdapat peningkatan titer antibodi 4 kali pada pasangan serumakut dan konvalesen atau peningkatan antibodi IgM spesifik untuk virus dengue
c.    Positif antigen virus Dengue pada pemeriksaan otopsi jaringan, serumatau cairan serebrospinal (LCS) dengan metode immunohistochemistry, immunofluoressence atau serokonversi pemeriksaan IgG dan IgM (dari negatif menjadi positif) pada pemeriksaan serologi berpasangan (ELISA)
d.    Positif pemeriksaan antigen dengue dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) atau pemeriksaan NS1,


C. Pemeriksaan Laboratorium
Ada beberapa jenis pemeriksaan laboratorium pada penderita infeksi dengue antara lain:

1)    Hematologi
a.    Leukosit
·         Jumlah leukosit normal, tetapi biasanya menurun dengan dominasi sel neutrofil.
·         Peningkatan jumlah sel limfosit atipikal atau limfosit plasma biru (LPB) > 4% di darah tepi yang biasanya dijumpai pada hari sakit ketiga sampai hari ke tujuh.
b.    Trombosit
Pemeriksaan trombosit antara lain dapat dilakukan dengan  cara:
·         Semi kuantitatif (tidak langsung)
·         Langsung (Rees-Ecker)
·         Cara lainnya sesuai kemajuan teknologi
Jumlah trombosit ≤100.000/μl biasanya ditemukan  diantara hari ke 3-7 sakit. Pemeriksaan  trombosit  perlu  diulang setiap 4-6 jam sampai terbukti bahwa jumlah trombosit dalam batas normal atau keadaan klinis penderita sudah membaik.
c.    Hematokrit
Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan adanya kebocoran pembuluh darah. Penilaian hematokrit ini, merupakan indikator yang peka akan terjadinya perembesan plasma, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala. Pada umumnya penurunan trombosit mendahului peningkatan hematokrit. Hemokonsertrasi dengan peningkatan hematokrit > 20% (misalnya nilai Ht dari 35% menjadi 42%), mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Perlu mendapat perhatian, bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh penggantian cairan atau perdarahan.
Namunperhitungan selisih nilai hematokrit tertinggi dan terendah baru dapat dihitung setelah mendapatkan nilai Ht saat akut dankonvalescen (hari ke-7). Pemeriksaan hematrokrit antara lain dengan mikro-hematokrit centrifuge
Nilai normal hematokrit:
·         Anak-anak                    : 33 - 38 vol%
·         Dewasa laki-laki            : 40 - 48 vol%
·         Dewasa perempuan     : 37 - 43 vol% 
Untuk puskesmas yang tidak ada alat untuk pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb.

2)    Radiologi
Pada foto toraks posisi “Right Lateral Decubitusdapat mendeteksi adanya efusi pleura minimal pada paru kanan. Sedangkan asites, penebalan dinding kandung empedu dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan Ultra Sonografi (USG).

3)    Serologis
Pemeriksaan serologis didasarkan atas timbulnya antibodi pada penderita terinfeksi virus Dengue.

a.    Uji Serologi Hemaglutinasi Inhibisi (Haemaglutination  Inhibition Test)
Pemeriksaan HI sampai saat ini dianggap sebagai uji baku emas (gold standard). Namun pemeriksaan ini memerlukan 2 sampel darah (serum) dimana spesimen harus diambil pada fase akut dan fase konvalensen (penyembuhan), sehinggga tidak dapat memberikan hasil yang cepat.  

b.    ELISA (IgM/IgG)
Infeksi dengue dapat dibedakan sebagai infeksi primer atau sekunder dengan menentukan rasio limit antibodi dengue IgM terhadap IgG. Dengan cara uji antibodi dengue IgM dan IgG, uji tersebut dapat dilakukan hanya dengan menggunakan satu sampel darah (serum) saja, yaitu darah akut sehingga hasil cepat didapat. Saat ini tersedia Dengue Rapid Test  (misalnya Dengue Rapid Strip Test) dengan prinsip pemeriksaan ELISA.

c.    Interpretasi Hasil Pemeriksaan Dengue Rapid Test
Dengue Rapid Test mendiagnosis infeksi virus primer dan sekunder melalui penentuan cut-off  kadar IgM dan IgG dimana cut-off IgM ditentukan untuk dapat mendeteksi antibodi IgM yang secara khas muncul pada infeksi virus dengue primer dan sekunder, sedangkan cut off antibodi IgG  ditentukan hanya mendeteksi antibodi kadar tinggi yang secara khas muncul pada infeksi virus dengue sekunder (biasanya IgG ini mulai terdeteksi pada hari ke-2 demam) dan disetarakan dengan titer HI > 1:2560 (tes HI sekunder) sesuai standar WHO. Hanya respons antibodi IgG infeksi sekunder aktif saja yang dideteksi, sedangkan IgG infeksi primer atau infeksi masa lalu tidak dideteksi. Pada infeksi primer IgG muncul pada setelah hari ke-14, namun pada infeksi sekunder IgG timbul pada hari ke-2.
Interpretasi hasil adalah apabila garis yang muncul hanya IgM dan kontrol tanpa garis IgG, maka Positif Infeksi Dengue Primer (DD). Sedangkan apabila muncul  tiga garis pada kontrol, IgM, dan IgG dinyatakan sebagai Positif Infeksi Sekunder (DBD). Beberapa kasus dengue sekunder tidak muncul garis IgM, jadi hanya muncul garis kontrol dan IgG saja. Pemeriksaan dinyatakan negatif apabila hanya  garis kontrol yang terlihat. Ulangi pemeriksaan  dalam 2-3 hari lagi apabila gejala klinis kearah DBD. Pemeriksaan dinyatakan invalid apabila garis kontrol tidak terlihat dan hanya terlihat garis pada IgM dan/atau IgG saja.



II.            Tatalaksana Infeksi Dengue


Pada dasarnya pengobatan infeksi dengue bersifat simtomatis dan suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para petugas medis dan paramedis untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik.

A.   Pertolongan Pertama Penderita
Pada awal perjalanan DBD gejala dan tanda tidak spesifik, oleh karena itu masyarakat/keluarga diharapkan waspada jika terdapat gejala dan tanda yang mungkin merupakan awal perjalanan penyakit tersebut. Gejala dan tanda awal DBD dapat berupa panas tinggi tanpa sebab jelas yang timbul mendadak, terus-menerus selama 2-7 hari, badan lemah/lesu, nyeri ulu hati, tampak  bintik-bintik  merah pada kulit seperti bekas gigitan nyamuk disebabkan  pecahnya  pembuluh darah kapiler di kulit. Untuk membedakannya kulit diregangkan bila bintik merah itu hilang, bukan tanda penyakit DBD.

Apabila keluarga/masyarakat menemukan gejala dan tanda di atas, maka pertolongan pertama oleh keluarga adalah sebagai berikut:
a.    Tirah baring selama demam
b.    Antipiretik (parasetamol) 3 kali 1 tablet untuk dewasa, 10-15 mg/kgBB/kali untuk anak. Asetosal, salisilat, ibuprofen jangan dipergunakan karena dapat menyebabkan nyeri ulu hati akibat gastritis atau perdarahan.
c.    Kompres hangat
d.    Minum banyak (1-2 liter/hari), semua cairan berkalori diperbolehkan kecuali cairan yang berwarna coklat dan merah (susu coklat, sirup merah).
e.    Bila terjadi kejang (jaga lidah agar tidak tergigit, longgarkan pakaian, tidak memberikan apapun lewat mulut selama kejang)

Jika dalam  2-3 hari panas tidak turun atau panas turun disertai timbulnya gejala dan tanda lanjut seperti perdarahan di kulit (seperti bekas gigitan nyamuk), muntah-muntah, gelisah, mimisan dianjurkan segera dibawa berobat/periksakan ke dokter atau ke unit pelayanan kesehatan untuk segera mendapat pemeriksaan dan pertolongan.



B.   Tatalaksana Demam Dengue (DD)
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat inap. Pada fase demam pasien dianjurkan:
1)    Tirah baring, selama masih demam.
2)    Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.
3)    Untuk menurunkan suhu menjadi <39°C, dianjurkan pemberian parase-tamol. Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (indikasi kontra) oleh karena dapat meyebabkan gastritis, perdarahan, atau asidosis.
4)    Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.
5)    Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesens.

Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan. Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi  terhadap komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan kita sulit membedakan antara DD   dan   DBD  pada  fase  demam.   Perbedaan   akan   tampak  jelas   saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok. Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat, buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa segera ke rumah sakit. Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari, tidak perlu lagi diobservasi. Tatalaksana DD tertera pada Bagan 2 (Tatalaksana tersangka DBD).

C.   Tatalaksana Demam Berdarah Dengue (DBD)

1.    Tatalaksana DBD Tanpa Syok
Perbedaan patofisilogik utama antara DBD dan penyakit lain adalah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Maka keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis.
Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunan jumlah trombosit sampai ≤100.000/ml atau kurang dari 1-2 trombosit/Ipb (rata-rata dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit ≥20% mencerminkan perembesan plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Larutan garam isotonik atau kristaloid sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus dan penurunan jumlah trombosit <50.000/μl. Secara umum pasien DBD derajat I dan II dapat dirawat di puskesmas, rumah sakit kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B dan A.
Secara umum perjalanan penyakit DBD dibagi menjadi 3 fase  yaitu fase demam, fase kritis dan fase penyembuhan (konvalesens):

a)    Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat simtomatik   dan   suportif  yaitu  pemberian   cairan   oral   untuk    mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD.

b)    Fase Kritis
Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairanya itu menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitif.
Untuk puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan dengan menggunakan Hb Sahli dengan estimasi nilai Ht=3x kadar Hb

Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan suhu (fase afebris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan bijaksana dan     berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, dan jumlah volume urin. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%.

Cairan intravena diperlukan, apabila:
1)    Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok,
2)    Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCI 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46%, 1-2 ml/kgBB    intravena bolus perlahan-lahan.

Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid/ NaCI 0,9% atau dekstrosa 5% dalam ringer laktat/NaCI 0,9%, 6-7 ml/kgBB/jam. Monitor tanda vital, diuresis setiap jam dan hematokrit serta trombosit setiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12-24 jam.
Apabila selama observasi keadaan umum membaik yaitu anak nampak tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup, dan kadar Ht cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut, maka tetesan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila dalam observasi selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam dan akhirnya cairan dihentikan setelah 24-48 jam.

Jenis Cairan
-       Kristaloid:Larutan ringer laktat (RL), Larutan ringer asetat (RA), Larutan garam faali (GF), Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL), Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA), Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)
(Catatan: Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA, tidak boleh larutan yang mengandung dekstosa)
-       Koloid:Dekstran 40, Plasma, Albumin, Hidroksil etil starch 6%, gelafundin

c)    Fase Penyembuhan/konvalesen
Pada fase penyembuhan, ruamkonvalesen/ sekunder akan muncul pada daerah esktremitas. Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali ke dalam intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema palpebra, edema paru dan distress pernafasan.

2.    Tatalaksana DBD denganSyok(Sindrom Syok Dengue/ SSD)
Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti (volume replacement) adalah pengobatan yang utama,berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak cepat mengalami syok dan sembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam. Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi menyempit (≤ 20mmHg) atau hipotensi, dan peningkatan mendadak dari kadar hematokrit atau kadar hematokrit meningkat terus menerus walaupun telah diberi cairan intravena.Pada penderita SRD dengan tensi tak terukur dan tekanan nadi ≤20 mm Hg segera berikan cairan kristaloid sebanyak 20 ml/kg BB selama 30 menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kgBB/jam.

Tatalaksana DBD dengan Syok meliputi:
a)    Penggantian Volume Plasma Segera
Cairan resusitasi awal adalah larutan kristaloid 20 ml/kgBB  secara intravena dalam 30 menit. Pada anak dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal dan umur, bila tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid. Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit, berikan cairan koloid  10-20 ml/kg BB secepatnya dalam 30 menit. Pada umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30ml/kgBB/hari atau maksimal pemberian koloid 1500ml/hari, dan sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid, syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, maka pikirkan adanya perdarahan internal.  Maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar/ komponen sel darah merah. Apabila nilai hematokrit tetap  tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10ml/kgBB/jam) dapat diulang sampai 30ml/kgBB/24jam, Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dan kadar hematokrit.

b)    Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume Plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kgBB/jam dan kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam.
Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin 1ml/kgBB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan dapat dihentikan setelah 48 jam syok teratasi.
Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat edema paru dan gagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.
c)    Koreksi Ganggungan Metabolik dan Elektrolit
Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD, maka analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks.
Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.
d)    Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.

e)    Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% menjadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembeku trombosit. Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan KID(Koagulasi Intravascular Disseminata) dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian.

f)     Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah :
(1)  Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
(2)  Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinispasien stabil.
(3)  Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudahmencukupi.
(4)  Jumlah dan frekuensi diuresis
Pada pengobatan renjatan/ syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1ml/kgBB/jam, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Jika pasien sudah stabil, maka bisa dirujuk ke RS rujukan.
g)    Ruang Rawat Khusus Untuk DBD/SSD
Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD seharusnya dirawat di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk kegawatan. Ruang perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit, dan trombosit yang tersedia selama 24 jam. Pencatatan merupakan hal yang penting dilakukan di ruang perawatan DBD. Paramedis dapat dibantu oleh orang tua/ keluarga pasien untuk mencatat jumlah cairan baik yang diminum maupun yang diberikan secara intravena, serta menampung urin serta mencatat jumlahnya.

h)    Kriteria Memulangkan Pasien
Pasien dapat dipulangkan, apabila memenuhi semua keadaan dibawah ini:
(1)  Tampak perbaikan secara klinis
(2)  Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
(3)  Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
(4)  Hematokrit stabil
(5)  Jumlah trombosit >50.000/ml dan menunjukan kecenderungan meningkat
(6)  Tiga hari setelah syok teratasi (hemodinamik stabil)
(7)  Nafsu makan membaik


D.   Tatalaksana Expanded Dengue Syndrom

1.    Tatalaksana kelebihan cairan (volume overload)
·         Pada keadaan kelebihan cairan perlu dinilai keadaan klinis, dihitung kembali cairan yang telah diberikan, dan cek A-B-C-S(Acidosis-Bleeding-Calcium-Sugar) apakah telah dikoreksi.
·         Turunkan jumlah cairan menjadi 1 mL/kgBB/ jam, bila tersedia cairan koloid, ganti kristaloid dengan cairan koloid. 
·         Pada stadium lanjut dengan ditemukannya tanda edema paru, furosemid 1 mg/kgBB/dosis segera diberikan bila tekanan darah stabil serta kadar ureum dan kreatinin normal. Setelah pemberian furosemid perlu dipantau setiap 15 menit untuk menilai keberhasilan pengobatan.
·         Ukur volume diuresis melalui kateter urin
·         Apabila tidak ada perbaikan setelah pemberian furosemid, periksa status volume intravaskular (pemantauan CVP). Apabila volume intravascular baik, pemberian furosemid dapat diulang untuk kedua kalinya dengan dosis ganda. Namun apabila masih terjadi oliguria maka harus segera dilakukan dialisis, berarti pasien dalam keadaan gagal ginjal akut, keadaan ini mempunyai prognosis yang buruk. Apabila volume intravaskular tidak adekuat maka cek A-B-C-S dan koreksi gangguan keseimbangan elektrolit.

2.    Tatalaksana Gangguan Elektrolit
Gangguan elektrolit sering terjadi selama fase kritis dan tersering yaitu hiponatremia dan hipokalsemia. Sedangkan hipokalemia sering pada fase konvalesens.
Hiponatremia terjadi sebagai akibat dari pemberian cairan hipotonis yang tidak adekuat. Apabila ada kejang diberikan Natrium 3%, apabila tidak ada kejang cukup diberikan cairan dekstrose 5%-NaCl 0,9%.

Hipokalsemia disebabkan perembesan kalsium yang mengikuti albumin masuk ke cairan pleura atau peritoneal. Direkomendasikan diberikan kalsium glukonas 10% dengan dosis 1 mL/kgBB/dosis (maksimum 10 mL) diencerkan dengan aquadest, diberikan setiap 6 jam hanya untuk kasus SSD dekompensasi atau pasien dengan kelebihan cairan.
Tidak diperlukan pemberian kalsium untuk kasus dengue tanpa komplikasi dan tanpa gejala.

3.    Tatalaksana Ensefalopati
Pada ensefalopati dengue, paling sering berhubungan dengan gangguan fungsi hati, namun dapat pula disebabkan oleh gangguan serebral sekunder akibat syok, gangguan elektrolit, atau perdarahan intrakranial. Penyebab ensefalopati harus dicari dan diberi pengobatan sesuai penyebab.
Pada pasien ensefalopati harus diperiksa kadar amoniak, enzim transaminase (SGOT dan SGPT), PT, APTT dan albumin untuk memantau fungsi hati. Kadar elektrolit harus diperiksa dan segera dilakukan koreksi bila ditemukan kelainan. Pemeriksaan radiologi kepala (CT-scan/MRI) direkomendasikan untuk menyingkirkan perdarahan intrakranial.
Tata laksana ensepalopati meliputi:
·         Mempertahankan oksigenasi dengan pemberian oksigen.
·         Mencegah/mengurangi tekanan intrakranial dengan cara sebagai berikut.
o    Berikan cairan intravena dengan volume yang dibatasi (restriksi), tidak lebih dari 80% kebutuhan rumatan
o    Ganti lebih cepat ke cairan koloid apabila hematokrit masih tetap tinggi
o    Pemberian diuretik segera pada kasus kelebihan cairan
o    Posisi pasien dalam keadaan lebih tegak, posisi  kepala 30 derajat lebih tinggi dari tubuh
o    Intubasi dini bila diperlukan untuk mencegah hiperkarbia dan mempertahankan jalan napas
o    Steroid 0,15 mg/kgBB/dosis intravena diberikan setiap 6–8 jam, untuk mengurangi tekanan intrakranial (apabila tidak ada perdarahan )
·         Mengurangi produksi amoniak berikan laktulosa 5–10 mL setiap 6 jam.
·         Koreksi gangguan asam basa, ketidakseimbangan elektrolit (hipo/hipernatremia, hipo/hiperkalemia, hipokalsemia), dan asidois. Vitamin K1 intravena 3 mg untuk umur <1 tahun, 5 mg untuk umur <5 tahun, dan 10 mg untuk umur >5 tahun atau dewasa.
·         Antikonvulsi diberikan untuk mengatasi kejang: fenobarbital, dilantin, atau diazepam intravena.
·         Transfusi darah, bila diperlukan, sebaiknya fresh red packed cell. Komponen darah yang lain seperti suspensi trombosit dan FFP tidak dianjurkan karena menyebabkan kelebihan cairan dan meningkatkan tekanan intrakranial.
·         Terapi antibiotik empiris dianjurkan apabila dicurigai terjadi infeksi bakteri sekunder.
·         Hindari pemberian obat-obatan yang tidak diperlukan oleh karena pada umumnya obat dimetabolisme di dalam hati.
·         Plasmapheresis, hemodialisis atau renal replacement therapy diberikan pada pasien dengan gangguan ginjal.

4.    Tatalaksana Perdarahan Masif
·         Apabila sumber perdarahan tampak secara klinis, segera lakukan tindakan untuk menghentikannya, misalnya mimisan berat dapat dihentikan dengan tampon nasal. Tranfusi darah harus segera diberikan, apabila kadar hematokrit menurun. Apabila volume darah yang keluar dapat diukur maka ganti dengan volume yang sama. Namun, apabila sulit diukur berikan darah segar 10 mL/kgBB atau 5 mL/kgBB fresh packed red cell, kemudian diperiksa ulang 3 jam pasca transfusi untuk menentukan apakah diperlukan transfusi lagi atau tidak.
·         Pada perdarahan gastrointestinal, pemberian H2 antagonis dan proton pump inhibitor, kurang efektif.
·         Tidak ada bukti nyata khasiat pemberian komponen darah seperti suspensi trombosit, fresh frozen plasma, atau cryoprecipitate, malah dapat menyebabkan sindrom kelebihan cairan.
·         Pemberian rekombinan faktor VII pada sebagian kasus dengan perdarahan masif tanpa gagal organ memberi hasil baik, namun selain harganya sangat mahal juga sulit didapat.

5.    Tatalaksana Gagal Ginjal Akut
Gagal ginjal akut dapat terjadi oleh karena hipoperfusi dalam SSD. Plasmaferesis atau hemodialisis atau renal replacement therapy dapat dilakukan pada pasien dengan keadaan gagal ginjal yang semakin memburuk.

6.    Tatalaksana Sindrom Gangguan Pernapasan Akut
Kerusakan pembuluh darah paru-paru dapat mengakibatkan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) yang memerlukan ventilator. Kelebihan cairan harus dihindari untuk mencegah terjadinya edema paru.

7.    Tatalaksana Ensefalitis Dengue
Tata laksana umum ensefalitis virus meliputi pemantauan dan pemeliharaan jalan napas dan oksigenasi yang memadai, hidrasi, dan nutrisi. Pungsi lumbal dikerjakan bila syok telah teratasi, fase kritis telah dilewati dan kesadaran tetap menurun (hati-hati bila trombosit <50.000/uL). Kejang dapat dikontrol dengan obat antikonvulsi, dan peningkatan tekanan intrakranial dengan manitol, dan steroid. Jika dicurigai kemungkinan terjadi infeksi sekunder oleh bakteri maka antibiotik empiris sesuai dengan antibiogram lokal harus diberikan. Di daerah endemis, kemungkinan penyakit yang dapat menimbulkan infeksi susunan syaraf pusat seperti malaria serebral, toksoplasmosis, human immunodeficiency virus (HIV), tuberkulosis, dan Japanese-ensefalitis, sudah harus disingkirkan.

8.    Tatalaksana Miokarditis
Disfungsi kontraktilitas miokardium dapat terjadi pada pasien DBD yang mengalami syok berkepanjangan. Pada umumnya disebabkan oleh asidosis metabolik dan hipokalsemia. Sehingga tata laksana miokarditis dengue selain memberikan obat-obatan untuk miokarditis, juga segera koreksi asidosis dan hipokalsemia. Miokarditis jarang didapatkan pada pasien anak di bawah 10 tahun dan pada umumnya bukan sebagai penyebab kematian pasien DBD. Namun beberapa pasien dengan edema paru atau kelebihan cairan dapat mengalami miokarditis. Sehingga jika kecurigaan terhadap miokarditis terjadi pada pasien, pemberian cairan harus berhati-hati.

9.    Tatalaksana Pasien dengan Risiko Tinggi
Obesitas, bayi, diabetes melitus, ibu hamil, hipertensi, dalam terapi antikoagulan, penyakit hemolitik dan hemoglobinopati, penyakit jantung bawaan dan kelainan jantung sistemik, serta pasien dalam pengobatan steroid memperburuk prognosis demam berdarah dengue.
·         Obesitas. Pasien obese mempunyai cadangan respirasi yang kurang dibandingkan anak dengan berat badan ideal, pemberian cairan harus hati-hati karena lebih mudah terjadi kelebihan cairan. Volume cairan resusitasi dihitung berdasarkan kebutuhan sesuai berat badan ideal.
·         Bayi. Bayi juga mempunyai cadangan respirasi yang kurang dan lebih rentan terhadap gangguan hati serta keseimbangan elektrolit. Pada bayi perembesan plasma berlangsung relatif lebih pendek dan pada umumnya memberikan respons yang cepat terhadap resusitasi cairan. Oleh karena itu pada bayi harus dilakukan pemantauan yang lebih sering  terhadap kemampuan minum dan jumlah diuresis, bila minum sudah baik dan diuresis baik jumlah intravena harus segera dikurangi.
·         Diabetes melitus. Pada pasien DM yang mengalami infeksi dengue, pada umumnya diperlukan pemberian insulin intravena. Cairan kristaloid yang diberikan harus tidak mengandung glukosa.
·         Ibu hamil. Ibu hamil yang menderita infeksi dengue harus dirawat untuk dilakukan pemantauan lebih ketat. Kerja sama antara dokter spesialis kebidanan,spesialis anak, spesialis penyakit dalam dan dokter umum sangat diperlukan. Jumlah cairan yang diberikan pada ibu hamil sama dengan ibu tidak hamil, dengan pedoman berat badan sebelum hamil.
Konseling terhadap keluarga harus diberikan terutama bila keadaan umum memburuk.
·         Hipertensi. Penderita hipertensi umumnya sedang minum obat anti hipertensi, hal ini menyamarkan respon kardiovaskuler dalam keadaan syok. Oleh karena itu diperlukan data dasar tekanan darah sehari-hari dalam pengobatan. 
·         Terapi antikoagulan. Pada keadaan kritis, obat antikoagulan harus dihentikan.
·         Penyakit hemolitik dan hemoglobinopati. Pasien hemolitik dan hemoglobinopati mempunyai risiko untuk memperberat terjadinya hemolisis, maka sering kali memerlukan transfusi darah. Perhatikan jangan sampai terjadi kelebihan cairan dan hipokalsemia.
·         Penyakit jantung bawaan dan penyakit jantung iskemik. Pemberian cairan harus berhati-hati karena dapat menyebabkan gagal jantung akibat kelebihan cairan.
·         Pasien dalam pengobatan steroid. Kortikosteroid tetap diberikan, hanya rute pemberian-nya diubah.

Laporan kasus/tersangka infeksi dengue dari Puskesmas dan Rumah Sakit Perawatan menggunakan formulir KDRS dikirimkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dengan tembusan kepada Puskesmas sesuai dengan domisili (tempat tinggal) pasien yang bersangkutan. Pelaporan dilakukan 24 jam setelah diagnosis kerja ditegakkan. Pelaporan hasil pemeriksaan laboratorium DBD dilakukan oleh Balai Laboratorium Kesehatan/Bagian Mikrobiologi/bag.laboratorium RS setempat.

Sumber : Pedoman Pengendalian DBD Tahun 2015, Bab II

Comments