GHPR dan Rabies



Kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) dan Rabies masih menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat. Betapa tidak, penanganan GHPR memerlukan biaya yang tidak sedikit, CFR rabies pun mencapai 100%.

Penyakit rabies merupakan penyakit menular akut dari susunan syaraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies. Ditularkan oleh hewan penular rabies terutama anjing, kucing dan kera melalui gigitan, aerogen, transplantasi atau kontak dengan bahan yang mengandung virus rabies pada kulit yang lecet atau mukosa. Penyakit ini apabila sudah menunjukkan gejala klinis pada hewan dan manusia selalu diakhiri dengan kematian, angka kematian Case Fatality Rate (CFR) mencapai 100% dengan menyerang pada semua umur dan jenis kelamin. Kekebalan alamiah pada manusia sampai saat ini belum diketahui.

Adapun landasan hukum yang dipergunakan di Indonesia diantaranya UU No.4 Th.1984 tentang wabah penyakit menular. Keputusan bersama Dirjen P2 dan PL, Dirjen Peternakan dan Dirjen PUOD No. KS.00-1.1554, No.99/TN.560/KPTS/DJP/Deptan/1999,N0.443.2-270 tentang Pelaksanaan Pembebasan dan Mempertahankan Daerah Bebas Rabies di wilayah Republik Indonesia.

1. Gambaran Klinis

Gejala Klinis Rabies terbagi menjadi 3 stadium berdasarkan diagnosa klinik:
a. Stadium prodromal, dengan gejala awal demam, malaise, nyeri tenggorokan selama beberapa hari.
b. Stadium Sensoris, penderita merasa nyeri, panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka. Kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap rangsangan sensorik.
c. Stadium eksitasi, tonus otot-otot dan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala hiperhidrosis, hipersalivasi, pupil dilatasi. Stadium ini mencapai puncaknya dengan muncul macam – macam fobi seperti hidrofobi, fotofobi, aerofobi. Tindak tanduk penderita tidak rasional dan kadang-kadang maniakal. Pada stadium ini dapat terjadi apneu, sianosis, konvulsa dan takikardi.
d. Stadium Paralyse, terjadi inkontinentia urine, paralysis flaksid di tempat gigitan, paralyse ascendens, koma dan meninggal karena kelumpuhan otot termasuk otot pernafasan.

2. Etiologi

Virus Rabies termasuk golongan Rhabdovirus, berbentuk peluru dengan kompoisisi RNA, lipid, karbohidrat dan protein. Sifat virus rabies cepat mati dengan pemanasan pada suhu 60°C, sinar ultraviolet dan gliserin 10%, dengan zat- zat pelarut lemak (misalnya air sabun, detergent, chloroform, ethe, dan sebagainya), diluar jaringan hidup, dapat diinaktifkan dengan B-propiolakton, phenol, halidol azirin. Bisa bertahan hidup dalam beberapa minggu di dalam larutan gliserin pekat pada suhu kamar, sedangkan pada suhu di bawah 4°C dapat bertahan hidup sampai berbulan-bulan.

3. Masa Inkubasi

Masa inkubasi dari penyakit rabies 2 minggu s.d 2 tahun. Sedangkan di Indonesia masa inkubasi berkisar antara 2 – 8 minggu.

4. Sumber dan Cara Penularan

Sumber penyakit rabies adalah anjing (98%), kucing dan kera (2%). serta hewan liar lainnya (serigala, raccoon/rakun, harimau, tikus, kelelawar). Cara penularan melalui gigitan dan non gigitan (aerogen, transplantasi, kontak dengan bahan mengandung virus rabies pada kulit lecet atau mukosa).

5. Pengobatan

Setiap kasus gigitan hewan penular rabies ditangani dengan cepat melalui pencucian luka gigitan dengan sabun / detergen dengan air mengalir selama 15 menit, kemudian diberikan antiseptic (alkohol 70%, betadine, obat merah, dan lain-lain). Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) dan Serum Anti Rabies (SAR) dihentikan bila hewan penggigit tetap sehat selama 14 hari observasi dan hasil pemeriksaan laboratorium negatif. Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) dilakukan berdasarkan :
a. Luka Risiko Rendah :
Yang termasuk luka risiko rendah adalah jilatan pada kulit luka, garukan, atau lecet, luka kecil di sekitar tangan, badan dan kaki.
Pemberian VAR diberikan pada hari ke 0 sebanyak 2 dosis secara intramuskuler (i.m) di lengan kiri dan kanan. Suntikan kedua dilanjutkan pada hari ke 7 sebanyak 1 dosis dan hari ke 21 sebanyak 1 dosis. Bila kasus GHPR 3 bulan sebelumnya mendapat VAR lengkap tidak perlu diberikan VAR, bila lebih dari 3 bulan sampai 1 tahun diberikan VAR 1 kali dan bila lebih dari 1 tahun dianggap penderita baru yang harus diberikan VAR lengkap.
b. Luka Resiko Tinggi
Yang termasuk luka resiko tinggi jilatan/luka di mukosa, luka diatas daerah bahu, (mukosa,leher, kepala), luka pada jari tangan dan kaki,genetalia, luka lebar/dalam dan luka yang banyak (multiple wound).
Pengobatan melalui kombinasi VAR dan SAR, Serum Anti Rabies (SAR) diberikan saat bersamaan dengan VAR pada hari ke 0, sebagian besar disuntikan pada luka bekas gigitan dan sisanya disuntikan secara i.m pada bagian tubuh lain yang letaknya berbeda dengan penyuntikan VAR. Pemberian VAR sebanyak 4 kali pemberian secara i.m pada hari ke 0 dengan 2 x pemberian, hari 7 (1X) dan hari 21 (1X). Pemberian booster VAR pada hari ke 90 sebanyak 1 dosis.

6. Epidemiologi

Rabies tersebar luas diseluruh dunia, antara lain : Rusia, Argentina, Brasilia, Australia, Israel, Spanyol, Afghanistan, Amerika Serikat, Indonesia, dan sebagainya. Tahun 2010 penyakit Rabies menyebar di 24 provinsi sebagai daerah tertular dari 33 provinsi di Indonesia, hanya 9 Provinsi yang masih bebas yaitu Kep.Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Papua dan Irian Jaya Barat yang masih dinyatakan sebagai daerah bebas rabies. Provinsi Bali sebelumnya adalah daerah bebas Rabies secara historis, tetapi pada bulan November tahun 2008 terjadi KLB Rabies di Provinsi Bali, kemudian berdasarkan SK Mentan Nomor 1696 Tahun 2008 Provinsi Bali ditetapkan sebagai Kawasan Karantina Penyakit Anjing Gila (Rabies).
Situasi Rabies di Indonesia tahun 2010 dilaporkan 78.288 kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR), dengan Lyssa (kematian rabies) sebanyak 206 orang dan telah dilakukan pemberian VAR (Vaksin Anti Rabies) 62.980 orang (81%).
Kasus Rabies pada manusia pada tahun 2010 terbanyak dilaporkan dari provinsi Bali dengan kematian 82 orang. Ada pun Provinsi yang berhasil menekan jumlah lyssa menjadi 0 kasus pada tahun 2010 ada 8 provinsi yaitu provinsi NAD, Bengkulu, Banten, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.
Situasi Rabies di Indonesia sampai 19 September tahun 2011 dilaporkan 52.503 kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR), dengan Lyssa (kematian rabies) sebanyak 104 orang dan telah dilakukan pemberian VAR (Vaksin Anti Rabies) 46.051 (87,71%).

7. Kejadian Luar Biasa

Dalam rangka menuju Indonesia bebas Rabies 2015, batasan kriteria KLB rabies adalah apabila terjadi 1 (satu) kasus kematian Rabies (Lyssa) pada manusia dengan riwayat digigit Hewan Penular Rabies.

1) Penyelidikan epidemiologi

Penyelidikan epidemiologi dilakukan terhadap setiap laporan adanya peningkatan kasus gigitan hewan tersangka Rabies. Penyelidikan diarahkan pada penemuan kasus tambahan gigitan hewan tersangka rabies lainnya.
Kasus Rabies adalah penderita gigitan hewan penular Rabies dengan gejala klinis rabies yang ditandai dengan Hydrophobia. Penegakan diagnosa dilakukan secara konfirmasi Laboratorium pada Hewan Penular Rabies dengan cara memotong hewan yang menggigit dan mengirimkan kepalanya ke Balai Besar Penelitian Veteriner (BBvet) untuk diperiksa otaknya. Otak diperiksa apakah di otak ditemukan Negri Bodies, bila ditemukan kasus tersebut adalah kasus konfirm diagnose Rabies.

2) Penanggulangan

Penanggulangan yang dilakukan bertujuan untuk mencegah dan membatasi penularan penyakit Rabies.
a. Melengkapi unit pelayanan kesehatan dengan logistik untuk pengobatan dan pengambilan spesimen (bila diperlukan).
b. Berkoordinasi dengan Dinas Peternakan setempat untuk tatalaksana hewan penular rabies (vaksinasi, eliminasi dan pembatasan lalu-lintas hewan penular rabies).
c. Melibatkan para pengambil keputusan dan tokoh masyarakat untuk menyampaikan informasi tentang apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan masyarakat bila terjadi kasus gigitan/ kasus rabies.
d. Pencucian luka gigitan hewan penular rabies dengan sabun atau detergen dengan air mengalir selama 10-15 menit.
e. Pemberian VAR dan SAR sesuai prosedur (Pengobatan).
f. Penyuluhan tentang bahaya rabies serta pencegahannya kepada masyarakat.

3) Surveilans Ketat pada KLB

a. Perkembangan jumlah kasus gigitan dan kasus rabies dengan melalui surveillans aktif di lapangan berupa data kunjungan berobat, baik register rawat jalan dan rawat inap dari unit pelayanan termasuk rabies center dan masyarakat yang kemudian disajikan dalam bentuk grafik untuk melihat kecenderungan KLB.
b. Berkoordinasi dengan Dinas Peternakan mengenai data perkembangan populasi hewan tersangka rabies

8. Sistem Kewaspadaan Dini KLB

a) Kajian Epidemiologi Ancaman KLB
Melaksanakan pengumpulan data dan pengolahan data serta informasi gigitan HPR, kesakitan dan kematian rabies pada manusia dan hewan, kondisi rentan KLB seperti populasi HPR, cakupan imunisasi anjing atau HPR serta ketersediaan logistik penanggulangan di Puskesmas dan Dinas Kesehatan.
b) Peringatan Kewaspadaan Dini KLB
Bila dari kajian epidemiologi adanya kecenderungan ancaman KLB (adanya cakupan imunisasi HPR rendah, peningkatan gigitan dan dan adanya kasus HPR positif rabies) maka diberikan peringatan kewaspadaan dini kemungkinan adanya ancaman KLB kepada pemangku kepentingan (Puskesmas, Rumah Sakit, Peternakan, Camat, Kepala Desa/Lurah, Bupati, Walikota dan lain-lain)
c) Peningkatan Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan terhadap KLB
Peningkatan dan penyelidikan lebih dalam mengenai kondisi rentan KLB dengan melaksanakan PWS kondisi rentan KLB. Melakukan PWS penyakit potensial KLB (Rabies) secara intensif di Puskesmas dan Puskesmas pembantu.
Penyelidikan awal tentang adanya KLB. Melakukan penyuluhan kesehatan untuk mendorong kewaspadaan KLB di Puskesmas, Pustu, klinik lainnya dan masyarakat.
Kesiapsiagaan menghadapi KLB antara lain Tim Gerak Cepat Puskesmas, Kabupaten/Kota, Logistik dan lain-lain. Menjalin koordinasi dan kerjasama dengan program dan lintas sektor terkait untuk memperbaiki kondisi rentan KLB rabies seperti : imunisasi HPR, eliminasi HPR tak berpemilik, pengawasan gigitan HPR dan lain-lain.

sumber : 
BUKU PEDOMAN Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular dan Keracunan Pangan (Pedoman Epidemiologi Penyakit)

Comments