DIFTERI ICD-9 032; ICD-10 A36
1. Identifikasi
Difteri adalah suatu penyakit bakteri
akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan
oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu
membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi.
Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria
faucial atau pada difteria
faringotonsiler, diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak.
Pada kasus-kasus yang sedang dan berat ditandai dengan pembengkakan dan oedema
di leher dengan pembentukan membran pada trachea secara ekstensif dan dapat
terjadi obstruksi jalan napas.
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan salah satu rongga hidung
tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi) merupakan kasus
terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan heart
block dan kegagalan jantung kongestif yang progresif, timbul satu minggu
setelah gejala klinis difteri. Gejala lain yang muncul belakangan antara lain neuropati
yang mirip dengan Guillain Barre Syndrome. Tingkat kematian kasus
mencapai 5-10% untuk difteri noncutaneus, angka ini tidak banyak berubah selama
50 tahun. Bentuk lesi pada difteria kulit bermacam-macam dan tidak dapat
dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan
bagian dari impetigo.
Pengaruh toksin difteria pada lesi
perifer tidak jelas. Difteria sebaiknya selalu dipikirkan dalam membuat
diferensial diagnosa pada infeksi bakteri (khususnya Streptococcus) dan viral
pharingitis, Vincent’s angina, mononucleosis infeksiosa, syphilis pada mulut
dan candidiasis.
Perkiraan diagnosa difteri didasarkan pada ditemukan adanya membran asimetris
keabu-abuan khususnya bila menyebar ke ovula dan palatum molle pada penderita
tonsillitis, pharingitis atau limfadenopati leher atau adanya discharge
serosanguinus dari hidung. Diagnosa difteri dikonfrimasi dengan pemeriksaan
bakteriologis terhadap sediaan yang diambil dari lesi.
Jika diduga kuat bahwa kasus ini adalah penderita difteria maka secepatnya diberikan pengobatan yang tepat
dengan antibiotika dan pemberian antitoksin. Pengobatan ini dilakukan sambil menunggu hasil
pemeriksaan laboratoriumnya negative.
2.
Penyebab Penyakit
Penyebab penyakit adalah Corynebacterium
diphtheria dari biotipe gravis, mitis atau intermedius. Bakteri membuat
toksin bila bakteri terinfeksi oleh coryne bacteriophage yang mengandung
diphtheria toxin gene tox. Strain nontoksikogenik jarang menimbulkan
lesi lokal, namun strain ini dikaitkan dengan kejadian endokarditis infektif.
3. Distribusi Penyakit
Penyakit ini muncul terutama pada
bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis dan terutama
menyerang anak-anak berumur di bawah 15 tahun yang belum diimunisasi. Sering
juga dijumpai pada kelompok remaja yang tidak diimunisasi. Di negara tropis
variasi musim kurang jelas, yang sering terjadi adalah infeksi subklinis dan
difteri kulit.
Di Amerika Serikat dari tahun 1980
hingga 1998, kejadian difteri dilaporkan rata-rata 4 kasus setiap tahunnya; dua
pertiga dari orang yang terinfeksi kebanyakan berusia 20 tahun atau lebih. KLB
yang sempat luas terjadi di Federasi Rusia pada tahun 1990 dan kemudian menyebar
ke negara-negara lain yang dahulu bergabung dalam Uni Soviet dan Mongolia .
Faktor risiko yang mendasari terjadinya infeksi difteri dikalangan orang dewasa
adalah menurunnya imunitas yang didapat karena imunisasi pada waktu bayi, tidak
lengkapnya jadwal imunisasi oleh karena kontraindikasi yang tidak jelas, adanya
gerakan yang menentang imunisasi serta menurunnya tingkat sosial ekonomi
masyarakat.
Wabah mulai menurun setelah penyakit tersebut mencapai
puncaknya pada tahun 1995 meskipun pada kejadian tersebut dilaporkan telah
terjadi 150.000 kasus dan 5.000 diantaranya meninggal dunia antara tahun
1990-1997. Di Ekuador telah terjadi KLB pada tahun 1993/1994 dengan 200 kasus,
setengah dari kasus tersebut berusia 15 tahun ke atas. Pada kedua KLB tersebut
dapat diatasi dengan cara melakukan imunisasi massal.
4.
Reservoir: Manusia.
5.
Cara Penularan
Cara penularan adalah melalui kontak dengan penderita
atau carrier; jarang
sekali penularan melalui peralatan yang tercemar oleh discharge dari lesi
penderita difteri. Susu yang tidak dipasteurisasi dapat berperan sebagai media
penularan.
6.
Masa Inkubasi
Biasanya 2-5 hari terkadang lebih lama.
7.
Masa Penularan
Masa penularan beragam, tetap menular sampai tidak
ditemukan lagi bakteri dari discharge dan lesi; biasanya berlangsung 2 minggu
atau kurang bahkan kadangkala dapat lebih dari 4 minggu. Terapi antibiotik yang
efektif dapat mengurangi penularan. Carrier kronis dapat menularkan penyakit
sampai 6 bulan.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Bayi yang lahir dari ibu yang memiliki imunitas biasanya
memiliki imunitas juga; perlindungan yang diberikan bersifat pasif dan biasanya
hilang sebelum bulan keenam. Imunitas seumur hidup tidak selalu, adalah
imunitas yang didapat setelah sembuh dari penyakit atau dari infeksi yang
subklinis. Imunisasi dengan toxoid memberikan kekebalan cukup lama
namun bukan kekebalan seumur hidup. Sero survey di Amerika Serikat menunjukkan
bahwa lebih dari 40% remaja kadar antitoksin protektifnya rendah; tingkat
imunitas di Kanada, Australia dan beberapa negara di Eropa lainnya juga
mengalami penurunan. Walaupun demikian remaja yang lebih dewasa ini masih
memiliki memori imunologis yang dapat melindungi mereka dari serangan penyakit.
Di Amerika Serikat kebanyakan anak-anak telah diimunisasi pada kuartal ke-2
sejak tahun 1997, 95% dari anak-anak berusia 2 tahun menerima 3 dosis vaksin
difteri. Antitoksin yang terbentuk melindungi orang terhadap penyakit sistemik
namun tidak melindungi dari kolonisasi pada nasofaring.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Cara Pencegahan
1) Kegiatan
penyuluhan sangatlah penting: beri penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada
para orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif
diberikan kepada bayi dan anak-anak.
2) Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan
melakukan imunisasi aktif secara luas (massal) dengan Diphtheria Toxoid (DT).
Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin yang mengandung diphtheria
toxoid, tetanus toxoid, antigen “acellular pertussis: (DtaP, yang digunakan di
Amerika Serikat) atau vaksin yang mengandung “whole cell pertusis” (DTP).
Vaksin yang mengandung kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid antigen “whole
cell pertussis”, dan tipe b haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat ini juga
telah tersedia.
3) Jadwal imunisasi
4) Upaya khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan
penderita seperti kepada para petugas kesehatan dengan cara memberikan
imunisasi dasar lengkap dan setiap sepuluh tahun sekali diberikan dosis booster
Td kepada mereka.
5) Bagi anak-anak
dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem kekebalan mereka (immunocompromised)
atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin diphtheria
dengan jadwal yang sama bagi orang normal walaupun ada risiko pada orang-orang
ini tidak memberikan respon kekebalan yang optimal.
B. Penanganan
Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1) Laporan kepada petugas kesehatan setempat
2) Isolasi: Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita
difteria faringeal, isolasi untuk difteria kulit dilakukan terhadap kontak
hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung (dan sampel dari lesi kulit
pada difteria kulit hasilnya negatif tidak ditemukan baksil. Jarak 2 kultur ini
harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah
penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur tidak mungkin dilakukan maka
tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah pemberian antibiotika yang
tepat (lihat 9B7 di
bawah).
3) Desinfeksi serentak: Dilakukan terhadap semua barang
yang dipakai oleh/untuk penderita dan terhadap barang yang tercemar dengan
discharge penderita. Dilakukan pencucihamaan menyeluruh.
4) Karantina: Karantina dilakukan terhadap dewasa yang
pekerjaannya berhubungan dengan pengolahan makanan (khususnya susu) atau
terhadap mereka yang dekat dengan anak-anak yang belum diimunisasi. Mareka
harus diistirahatkan sementara dari pekerjaannya sampai mereka telah diobati
dengan cara seperti yang diuraikan di bawah dan pemeriksaan bakteriologis menyatakan
bahwa mereka bukan carrier.
5) Manajemen Kontak: Semua kontak dengan penderita harus
dilakukan kultur dari sample hidung dan tenggorokan, diawasi selama 7 hari.
Dosis tunggal Benzathine Penicillin (IM: lihat uraian dibawah untuk dosis
pemberian) atau dengan Erythromycin selama 7-10 hari direkomendasikan
untuk diberikan kepada semua orang yang tinggal serumah dengan penderita
difteria tanpa melihat status imunisasi mereka. Kontak yang menangani makanan
atau menangani anak-anak sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari
pekerjaan tersebut hingga hasil pemeriksaan bakteriologis menyatakan mereka
bukan carrier. Kontak yang sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap
perlu diberikan dosis booster apabila dosis imunisasi terakhir yang mereka
terima sudah lebih dari lima
tahun. Sedangkan bagi kontak yang sebelumnya belum pernah diimunisasi, berikan
mereka imunisasi dasar dengan vaksinasi: Td, DT, DTP, DtaP atau DTP-Hib
tergantung dari usia mereka.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Pencarian
carrier dengan menggunakan kultur dari sampel yang diambil dari hidung dan
tenggorokan tidak bermanfaat jika tindakan yang diuraikan pada 9B5 diatas sudah
dilakukan dengan benar. Pencarian carrier dengan kultur hanya
bermanfaat jika dilakukan terhadap kontak yang sangat dekat.
7) Pengobatan spesifik: Jika diduga kuat bahwa seseorang menderita
difteria didasarkan kepada gejala klinis maka antitoksin harus diberikan
setelah sampel untuk pemeriksaan bakteriologis diambil tanpa harus menunggu
hasil pemeriksaan bakteriologis tersebut. (Saat ini
yang tersedia adalah antitoksin yang berasal dari kuda).
Sebelum diberikan lakukan terlebih
dahulu skin test untuk mengetahui adanya hypersensivitas terhadap serum kuda. Jika
hasilnya negative, DAT diberikan IM dengan dosis tunggal 20.000 – 100.000 unit
tergantung berat ringan serta luasnya penyakit. Untuk kasus berat
pemberian IM dan IV dilakukan bersama-sama. Pemberian antibiotika tidak dapat
menggantikan pemberian antitoksin.
Procain
Penicillin G (IM) diberikan sebanyak 25.000 – 50.000 unit/kg BB untuk anak-anak
dan 1,2 juta unit/kg BB untuk orang dewasa per hari. Dibagi dalam dua dosis.
Penderita dapat juga diberikan erythromycin 40-50 mg/kg BB per hari maksimum 2
g per hari secara parenteral. Jika penderita sudah bisa menelan dengan baik
maka erythromycin dapat diberikan per oral dibagi dalam 4 dosis per hari atau
penicillin V per oral sebesar 125-250 mg empat kali sehari, selama 14 hari.
Pernah ditemukan adanya strain yang resisten terhadap erythromycin namun sangat
jarang. Antibiotik golongan macrolide generasi baru seperti azythromycin dan
chlarithromycin juga efektif untuk strain yang sensitif terhadap erythromycin
tetapi tidak sebaik erythromycin.
Terapi profilaktik bagi carrier: untuk tujuan profilaktik
dosis tunggal penicillin G sebesar 600.000 unit untuk anak usia dibawah 6 tahun
dan 1,2 juta unit untuk usia 6 tahun ke atas. Atau dapat juga diberikan
erythromycin oral selama 7-10 hari dengan dosis 40 mg/kg BB per hari untuk
anak-anak dan 1 gram per hari untuk orang dewasa.
C.
Penanggulangan Wabah
1) Imunisasi sebaiknya dilakukan seluas mungkin terhadap
kelompok yang mempunyai risiko terkena difteria akan memberikan perlindungan
bagi bayi dan anak-anak prasekolah. Jika wabah terjadi pada orang dewasa,
imunisasi dilakukan terhadap orang yang paling berisiko terkena difteria.
Ulangi imunisasi sebulan kemudian untuk memperoleh sukurang-kurangnya 2 dosis.
2) Lakukan identifikasi terhadap mereka yang kontak dengan
penderita dan mencari orang-orang yang berisiko. Di lokasi yang terkena wabah
dan fasilitasnya memadai, lakukan penyelidikan epidemiologi terhadap kasus yang
dilaporkan untuk menetapkan diagnosis dari kasus-kasus tersebut dan untuk
mengetahui biotipe dan toksisitas dari C. diphtheriae.
D. Implikasi Bencana
Kejadian luar biasa dapat terjadi ditempat dimana kelompok
rentan berkumpul, khususnya bayi dan anak-anak. Kejadian wabah difteria
seringkali terjadi oleh karena adanya perpindahan penduduk yang rentan terhadap
penyakit tersebut dalam jumlah banyak.
E. Penanganan Internasional
Orang yang mengadakan kunjungan atau singgah di negara-negara yang
terjangkit difteria faucial atau difteria kulit dianjurkan mendapatkan
imunisasi dasar. Dosis booster Td diberikan kepada orang yang sebelumnya telah
mendapatkan imunisasi.
sumber: manual p2m (I Nyoman Kandun)
Comments
Post a Comment